Rabu, Agustus 11, 2010

Bad News - Good News ?

Jika media adalah cermin realitas, sungguh, betapa meresahkannya hidup ini. Coba buka lembar-lembar koran hari ini atau simak beraneka informasi di televisi, bandingkan berapa banyak berita baik dan kabar buruknya. Jika itu media massa di Indonesia, kita khawatir, yang lebih ditonjolkan adalah kabar buruk.Entah itu seputar provokasi politik, salah kebijakan, kejahatan dari kelas bawah hingga kelas atas, atau perilaku para pesohor yang tak layak tiru.

Jika kabar media dianggap sebagai representasi sebuah bangsa, sungguh betapa malunya kita. Kita pernah diolok-olok karena berita tentang kemiskinan: Ada yang mati karena berebut sedekah, ada ratusan orang antri menerima bantuan langsung tunai. Kita sering dilecehkan karena kabar tentang banyaknya tenaga kerja imirgran yang menjadi korban kekerasan. Juga ada koran meledaknya gas yang tak habis-habis. Betapa tidak berdayanya pemerintah menjaga warganya. Entahlah, saat ini seperti apa gambaran orang di luar sana tentang kita. Ada nilai-nilai moral bangsa yang pernah kita banggakan, tapi kini tersapu kabar buruk tentang perilaku segelintir orang.

Lalu apa yang salah? Media yang memburu sensasionalisme atau masyarakat kita yang semakin sulit menyediakan kabar baik?Media massa mungkin punya logika sendiri dalam merangkai dan membagi kabar. Bisa jadi, mereka masih memegang adagium lama : ‘bad news is good news’. Yang jelek, yang laku dijual. Yang tidak biasa, yang layak dikabarkan.

Karena prinsip itu, maka jika Anda orang biasa, berperilaku biasa, jangan berharap akan nampang di media. Jika Anda orang baik, biasa baik, tak mengemas kebaikan itu dengan cara ‘luar biasa’, maka itu tak cukup menjadi alasan untuk sebuah liputan. Baru menjadi berita, jika Anda yang dikenal baik tiba-tiba melakukan kesalahan, sekecil apapun. Kesalahan itu kadang bahkan tak selalu relevan, seperti betapa lugunya Anda atau betapa konyol dan ‘katro’nya Anda dalam menggunakan perangkat teknologi.

Sekelompok demonstran pernah merasa frustasi karena tak pernah mendapat ruang pemberitaan yang memadai. Maka ada saran yang menggelikan, tapi mungkin relevan : buatlah aksi rusuh, minimal bakar ban, syukur-syukur ada bentrokan, maka pasti akan diberitakan.

Tentu, kita tak bisa berharap semua berita berisi informasi yang ‘baik-baik’ saja. Dalam fungsinya sebagai kontrol sosial, sisi buruk masyarakat tak bisa ditutupi. Ada kabar buruk yang diperlukan untuk lahirnya berita baik di kemudian hari. Jika hari ini media kita masih penuh dengan kabar seputar korupsi, mudah-mudahan suatu hari nanti berganti menjadi berita:”Indonesia peringkat satu negara paling bersih di dunia”. Berita baik lainnya juga semoga segera menyusul, bahwa negeri ini menjadi ‘paling aman’ , ‘paling ramah untuk investasi’, atau ‘paling terdepan dalam mengendalikan pornografi’.

Jika berita baik itu tak kunjung muncul juga, yakinlah media massa tak selalu mewakili kita. Tak selalu mencerminkan kondisi masyarakat kita. Seperti kata jurnalis Polandia Ryszard Kapuscinski, ‘terlalu terbatas media untuk menjangkau dunia yang teramat luas ini’. Terbalu banyak informasi di dunia ini, tetapi selalu terbatas ruang dan waktu untuk menampungnya. Selalu ada seleksi informasi. Maka, terlalu naif jika kita hanya melihat wajah dunia ini dari lukisan media.

Lupakanlah media ‘kuning’ yang semata menjual sensai, kontroversi atau olok-olok murahan. Tengoklah negeri ini dengan kacamata yang lebih jernih. Ada 200 juta lebih penduduk yang terbentang dalam alam yang tidak diragukan keindahannya. Ada kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Lihatlah, pasti lebih banyak yang indah, banyak yang bisa dibanggakan. Bahkan tak usah jauh-jauh, lihatlah lingkungan kecil kita. Ada tetangga, ada rumah kita sendiri beserta makhluk yang ada di dalamnya. Jika rumit memahami perilaku orang dewasanya, perhatikan tingkah laku polah bocah-bocah kecil : spontan, tulus, tak kenal lelah. Ada damai di wajahnya.

Memang ada orang jahat, tapi tak sebanyak orang baik. Ada orang tak bermoral, tapi yakinlah, masih lebih banyak yang peduli pada ketinggian martabat. Ada yang menghina agama, namun jumlahnya tak sebanding dengan orang-orang yang meyakini nilai-nilai ketuhanan. Sayang, semua tak terekam sepenuhnya dalam media. Ada sisi baik yang tak terwakili dalam realitas simbolik itu.

jika masih juga resah melihat wajah ini dari media, beralihlah sejenak ke benua Afrika. Baru saja ada pesta bola yang menyimpan banyak pelajaran : profesionalisme, nasionalisme, dedikasi, fairplay, atau kesiapan menanggung kekalahan. Setidaknya, kita masih bisa yakin bahwa ‘kabar baik’ pun bisa menjadi ‘berita baik’. Good news is good news.

Tulisan Edi Santoso
di Majalah Tarbawi

0 komentar:

Posting Komentar