Rabu, April 10, 2013

Murabbiku Naik Sepeda Mini

Saat aku membuat tulisan ini, hati masih terasa gerimis mengingat peristiwa 2 malam lalu. Barangkali malam itu adalah malam-malam yang biasa dilewati oleh kebanyakan manusia, yang diisi oleh adegan seru dan tawa di depan tontonan. Dimana pendaran cahaya hiburan di televisi dan panggung-panggung menyemaraki pikiran segenap insan. Sihir lampu kendaraan dan jajanan petang seolah menarik sebagian orang untuk gemar meramaikan aktivitas malam. Tapi malam itu ada makna lain. Malam itu adalah salah satu malam dari malam-malam istimewa kami. Saat kami duduk melingkar di sudut mesjid kecil sederhana yang tidak terpengaruh oleh segala kegaduhan zaman.

Kawan, di tengah fenomena kontras itu aku merenung. Inilah budaya dan tradisi kita, fakta kekinian mengenai sibuknya orang mencari uang di siang hari yang sebagian hasilnya lalu dihabiskan di akhir pekan demi hiburan. Pikirankupun melayang dan merenung seputar uang. Orang mengatakan bahwa uang bukan segalanya, tapi segala-galanya perlu dibeli dengan uang sekarang ini. Seolah menegaskan pragmatisme yang kian sulit untuk dihindari. Meski tidak berucap langsung, tapi hati orang selalu berujar "apa yang aku dapat sekiranya aku melakukan ini dan itu?" Kita hidup di sebuah era dimana uang berbicara lebih banyak daripada adab dan kesantunan. pemilik mobil mogok merasa bersalah kalo tidak membayar orang yang mendorong mobilnya, sebuah keluarga merasa malu jika tidak memberi imbalan pada tetangga yang membantunya pindahan, atau seorang caleg yang memaksakan diri memberi uang kepada masyarakat yang belum tentu memilihnya. Uang selalu jadi bahasa untuk mempermudah urusan sekaligus memperumitnya.

Saya tidak bermaksud mengeluhkan kondisi itu. Tapi sekedar memberi gambaran ko' sepertinya selalu ada uang yang disyaratkan di semua urusan. Tak masalah bagi para pebisnis yang jeli melihat sumber uang yang diakses melalui transaksi dagang. Tapi di sisi lain ada sejumlah uang dalam jumlah besar. Saya istilahkan 'uang siluman' sumbernya gado-gado. Ada dari APBN/D, hasil bisnis haram, uang sogokkan, atau hibah pengusaha berkepentingan. Uang siluman yang semakin merajalela sampai merambah ke celah-celah gang sempit dan pembangunan musholla. Uang itu beredar semakin kencang di kala pilkada/pilwakot, apalagi pemilu. Bahkan di lingkup nasional uang siluman membangunkan industri media dgn berita-berita pesanan, menyetir keputusan-keputusan hakim di pengadilan, meniupkan propaganda dan kebiasaan buruk di media-media raksasa.

Bahasa uang juga kerap memenjara pikiran sehingga ia tidak merdeka. Pebisnis dengan modal kecil terpenjara pikirannya dengan merasa bahwa ia tak akan menjadi pengusaha besar (padahal takdir menunjukkan fakta lain bahwa uang bukan segalanya dalam bisnis). Partai yang tidak punya sumber dana besar seolah tidak akan pernah punya tempat di hati rakyat untuk dipilih dalam pemilu dan pemilikan kepala daerah (di sini PKS sudah membuktikan bahwa dana yang besar sama sekali bukan kunci utama kemenangan).

So kawan, ayo jangan didikte oleh uang. Sekiranya kita memiliki kelimpahan maka itu adalah karunia untuk modal dakwah. Tapi kalo uang kita tidak terlalu banyak, maka itupun karena pilihan kita sendiri yang menempuh jalan hidup yang memang tidak menghasilkan banyak uang tapi tetap sarat manfaat dan kebaikan. Biarkan mereka yang mendikte kita karena keukeuh pakai 'kacamata uang'. Menilai kesuksesan kader berdasaran kepemilikan uang. Berusaha memecah belah hati dan ikatan perasaan dengan menghembuskan was-was seputar uang.

Padahal mau tajir atau kere kita tak perduli. Mau miskin, pas-pasan, atau kaya kita sama-sama berjuang ke satu arah. Uang...berupa wujud atau konsep tidak pernah mendorong kita untuk menghalalkan apa yang haram. Juga tidak untuk mencela saudara kita yang tajir, atau meremehkan saudara kita yang 'terlampau sederhana'.

Di malam yang diiringi rintik hujan, Murabbiku datang menempuh jarak berkilo-kilo, dengan bersepeda mini berwarna pink milik anaknya. Berjalan teguh ia di antara lalu lalang ramai kendaraan di tengah kota. Bukti nyata bahwa masih ada orang-orang ikhlas yang tak bermodalkan uang semata. Membimbing generasi yang meniupkan ruh baru pada wajah Indonesia. Mematahkan semangat mereka yang berparadigma bahwa untuk berpolitik dan mengumpulkan segenap masa, serta memenangkan hati manusia harus keluar biaya sampai beratus-ratus juta.

0 komentar:

Posting Komentar