Konon perubahan adalah sebuah kemestian. Segala sesuatu pasti akan berubah (pada waktunya) kecuali perubahan itu sendiri yang tidak akan mau berubah. Lihatlah apa yang diperbuatnya hingga daun menjadi kuning lalu gugur, badan yang tegap menjadi bungkuk, yang mekar jadi layu, tadinya semarak lalu mendadak sunyi. Gunungpun yang kokoh mau tak mau bergeser. Dalam skala puluhan abad ia bagai penyu yang merangkak. Janganlah menyepelekan perubahan, karena dengannya benua membelah dan berlari, semestapun memuai, menyusun, mengurai...
O ya, tentu perubahan juga berarti senandung gembira. Misalnya waktu usia bertambah, kitapun beranjak pintar dan dewasa. Lalu saat akil baligh bersemi benih-benih cinta yang bikin dunia indah berjuta warna. Musim berganti dan tak terasa kita semakin matang dan berwibawa. Beragam masalah kita pikul, kita sambut, kita kejar, dan kita tuntaskan. Ada bahagia yang tak terlukis saat perubahaan mengantarkan kita ke jenjang pernikahan, juga di momen bayi-bayi mungil cantik mulai hadir menghiasi keseharian kita. Ada rasa perkasa dimana tangan kita bisa merangkul dan memberi kebaikan pada orang di sekitar kita, pada tumbuhan yang bisu, dan hewa-hewan yang tak sanggup berkata-kata.
Tapi perubahan yang membawa kabar gembira itu ada harganya. Harga yang worthed dan bisa memberi imbalan setimpal atau bahkan lebih untuk kita nikmati di penghujungnya. Kalaulah kita tak bayar harga itu, maka yang ada niscaya wajah kelam dan sisi gelap dari perubahan.
Kelamnya sisi perubahan itu tentu sangat tidak diharapkan. Ia yang membuat orang kaya berubah menjadi miskin, orang sehat dan bugar menjadi gemuk-kurus karena sakit tak karuan, wanita yang cantik mulus rupawan menjadi kuyu, layu, dan ga punya sinar kehidupan. Ia yang merubah sifat ramah menjadi pemarah, tadinya sabar jadi pendek akal, awalnya lembut menjadi bengis dan kasar. Apa lagi yang paling merugikan selain dulunya mengenal Tuhan, rajin ibadah tapi kini menjadi seperti jiwa-jiwa gersang yang kelaparan dan ga peduli hari Pembalasan.
Kawan...perubahan yang membawa kabar gembira itu ternyata memang ada harganya. Harga yang terbilang mahal buat yang ga punya niat bayar. Tapi harga itu terbilang murah meriah dibanding beli tiket konser anak-anak boyband alay. Asal kita mau menyisakan waktu untuk berpikir tentang apa yang baik dan buruk untuk kita. Agar kita bisa melihat bahwa ada banyak pilihan yang terbentang di hadapan. Sadarilah bahwa kebaikan itu perlu perjuangan dan ia tidak secara gratis dibagikan ke setiap orang. Malah aku yakin bahwa sebagian besarnya perlu dilumasi oleh bulir keringat bahkan darah. Bahkan perjuangan menuju perubahan yang lebih baik itu sendiri adalah kebaikan.
Jadi apa saja mata uang yang harus dibayar untuk membeli perubahan yang 'baik' itu ? Diantaranya adalah disipilin. Dispilin dengan kebiasaan baik, dispilin waktu, disiplin dengan janji, disiplin sedekah, disiplin dengan kesetiaan. Mata uang lainnya yaitu menghentikan kebiasaan buruk. Berhenti berbicara yang tidak perlu, berhenti mengkonsumsi tontonan yang bisa meranggaskan iman, berhenti dari pergaulan yang tidak membawa pada kemaslahatan.
Tapi di akhir tulisan ini aku ingin berbagi 2 harta terbesar untuk mengandeng waktu agar perubahan yang 'baik' menghampiri kita. Harta itu adalah ilmu dan iman. Kenapa ilmu ditulis terlebih dahulu, karena iman tak akan ada jika tak didahului oleh ilmu. Nah...sekiranya kita menghargai ilmu.... mari kita realisasikan ilmu itu agar takdir menggelinding dan menghempaskan kita pada kesuksesan. Kuatkan iman karena masa depan itu imaginasi yang gaib dan sering diabaikan. Kecuali orang-orang yang punya keyakinan bahwa ia disayang Allah, dan Allah tak akan memberi perintah kecuali perintah itu mengandung banyak kebaikan untuknya. Selamat menyongsong perubahan kawan
0 komentar:
Posting Komentar